MAIN POKER ONLINE KLIK DISINI - Pep Guardiola sudah lama (mencoba) move on dan pergi jauh dari sebuah masa lalunya. Namun, setiap kali harus kembali, dia masih saja tampak "rapuh".
Kita tahu, kisah Pep dan Barcelona bak cerita-cerita indah di negeri dongeng. Yang ada hanya cinta --kecuali menyangkut Zlatan Ibrahimovic. Seperti bunga dengan lebah, atau kerbau dengan burung jalak, hubungan mereka adalah contoh sebuah simbiosis mutualisme.
Hingga suatu waktu Pep harus pergi, bukan karena tak lagi cinta, melainkan sudah teramat cinta, dan cinta seperti itu tak lagi menantang. "Kita terlalu sempurna, Dik, dan kesempurnaan itu menjadikan kita tak lagi sempurna." Mungkin begitu liriknya jika situasi mereka dibuatkan lagu.
Ketika memutuskan pergi untuk mengusir kejenuhan, semestinya Pep sudah mendapatkan hampir sebagian besar yang dia mau. Kecuali trofi Liga Champions yang tak berhasil ia peroleh bersama Bayern Munich, segala kemewahan lain dalam karier seorang pelatih sepakbola, tetap ia dapatkan. Ia tetap jago, disegani, dan dibayar semakin mahal.
Akan tetapi, kisah indah Pep dengan Barcelona sudah dipastikan kekal abadi. Pep bisa bergonta-ganti "istri", dan mungkin akan selalu berhasil. Pun Barcelona. Akan ada yang silih berganti menyentuh mereka, membelai mereka, membesut mereka. Dan Barca selamanya merupakan jaminan kesuksesan pula, siapapun pelatihnya.
Itulah sebab kenapa Pep takkan pernah 100 persen move on dari Barcelona, setidaknya di kepala orang-orang. Ini bukan karena faktanya, dari dua kali menghadapi mantannya itu di tempat penuh kenangan bersama (baca: Camp Nou), dua kali pula Pep menelan kekalahan. Pertama, pada 6 Mei 2015, kala Bayern digasak 3-0, lalu tadi malam (19/10) saat Manchester City disikat empat gol tanpa balas. Bukan semata-mata itu. Percayalah, suatu hari nanti Pep bisa saja menaklukkan Los Cules di sana, dan kenapa kita harus kaget.
Akan selalu ada getaran-getaran sentimentil setiap kali Pep harus bertanding melawan Barcelona. Jika menang, fans Azulgrana akan mengikhlaskannya dan tidak mungkin tiba-tiba mengecapnya sebagai pengkhianat. Gile aja! Tapi kalau Pep kalah (seperti tadi malam), sungguh sebuah perbuatan yang keji apabila suporter Barca sampai mengolok-oloknya.
Akan selalu ada getaran-getaran sentimentil setiap kali Pep harus bertanding melawan Barcelona. Jika menang, fans Azulgrana akan mengikhlaskannya dan tidak mungkin tiba-tiba mengecapnya sebagai pengkhianat. Gile aja! Tapi kalau Pep kalah (seperti tadi malam), sungguh sebuah perbuatan yang keji apabila suporter Barca sampai mengolok-oloknya.
Maka, selama Pep tidak (pura-pura) mengubur perasaan cintanya pada Barcelona – misal, tahu-tahu membuat sekuel buku biografi yang isinya menjelek-jelekkan sang mantan --, ia akan terus dibayang-bayangi oleh "kesempurnaan" kisah mereka dulu itu. Ia akan seperti Sammy Simorangkir, yang meskipun sudah lama bersolo karier, tetap saja media massa akan menulisnya sebagai "mantan vokalis Kerispatih". It's ok, Sam.
Tulisan lebay ini tidak dimaksudkan sebagai pujian ataupun kritik -- kenapa sih segala sesuatunya harus dikritik? :D
Apakah perlu pula diwacanakan, bahwa di masa mendatang Pep akan kembali melatih Barca, ya terserah. Mau reuni atau tidak, tidak akan ada bedanya. Status mereka, sebut saja, cuma "mantan secara de jure".
Toh, kebetulan juga dunia selalu menyukai kisah-kisah cinta yang menyenangkan, yang tokoh-tokohnya tidak mati mengenaskan seperti Romeo-Juliet atau Laila-Majnun. Pep dan Barca -- mengutip Nurdin Halid ketika timnas Indonesia gagal jadi juara Piala AFF 2010 -- adalah "takdir".
No comments:
Post a Comment