Patrialis menanyakan hal tersebut setelah mendengar penjelasan saksi ahli dari YLBHI yang menyatakan bahwa tindakan menyimpang adalah tindakan 'tak ideal' yang seharusnya tidak dijatuhi hukuman pidana.
"Apakah dalam negara ini yang diatur dalam UU Perkawinan, melakukan hubungan suami istri tanpa pernikahan yang sah secara hukum secara terus menerus, melakukan biseks secara terus menerus, bahkan keduanya ini perbutan ini bagian dari hobi dan mata pencaharian, apakah menurut hati nurani saudara perbuatan ini seperti yang dikatakan adalah perbuatan yang termasuk kualifikasi melakukan pelanggaran terhadap nilai agama, moral, integritas, moral dan budaya keteladanan. Ini bagaimana?" tanya Patrialis kepada pegiat YLBHI Bahrain dalam ruang sidang MK, Kamis (22/09/2016).
Bahrain pun menjawab bahwa perbuatan di luar zina seperti yang dikatakan Patrialis itu bisa diselesaikan dengan adanya pendidikan dari pemerintah.
"Dalam konteks yang mendasar apa yang harus dibenahi dalam praktek prostistusi ya ketika orang digusur dan disuruh pulang ya ini akan terus berulang. Jadi bagaimana negara harus hadir bukan harus menghukum, kalau konteks menghukum berarti pelacur harus dipidana. Itu tanggung jawab negara untuk beri pendidikan," jawab Bahrain.
Bahrain berkata bahwa penyelesaian pada masyarakat minoritas seperti LGBT bukanlah hukuman pidana namun pemulihan dari pemerintah.
"Kapan negara hadir terhadap korban? Korban tidak pernah dilakukan semacam pemulihan sehingga konteks korban pada saat dia jadi korban tidak pernah dibantu negara, banyak pelaku berawal dari korban. Ketika kita menghukum perhatikan efek dari korban," tutur Bahrain.
Dia juga mengungkapkan bahwa banyak korban baik korban pemerkosaan, homoseks atau anak-anak, tidak pernah tidak pernah dibantu oleh negara.
"Harus dilakukan pemulihan oleh negara. Ini harus diluruskan, peran negara harus hadir bukan menghukum, kaitan hukum Islam pelacur harus masuk surga, hakekatnya munusia adalah suci," ucap Bahrain.
Patrialis pun kembali bertanya mengenai akibat hukum bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan tidak sah.
"Apakah jadi korban? Perempuannya bagaimana?" tanya Patrialis lagi.
"Kita melakukan perlindungan pada anak karena anak itu korban orang dewasa, perlindungan terhadap masyarakat dan anak itu penting karena masyarakat beraneka ragam," jawab Bahrain tegas.
Sidang ini digelar atas permohonan yang diajukan oleh guru besar IPB Bogor Prof Dr Euis Sunarti dan 11 temannya yang meminta MK meluaskan makna pasal asusila dalam KUHP yaitu pasa 284, 285 dan 292. Dalam gugatannya itu, Euis dkk berharap kumpul kebo dan homoseks bisa masuk delik pidana dan dipenjara.
Pasal 292 KUHP saat ini berbunyi:
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Pemohon meminta pasal itu menjadi:
Orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang dari jenis kelamin yang sama, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.
No comments:
Post a Comment